Tidak selamanya seorang diri itu sendirian.
Donor Darah 13
Pertengahan November 2018 kemarin aku donor darah ke-13. Sedikit lagi menuju check point berikutnya, 25 kali. Seperti biasa aku donor darah di PMI Pusat Jakarta, di daerah Kramat, dekat halte Pal Putih. Pendonor cukup banyak namun antrian tidak terlalu panjang.
Ada 2 hal berbeda yang aku dapatkan dari donor darah kali ini.
Yang pertama adalah perbedaan cara mengambil contoh darah. Biasanya saat donor, setelah kantong darah telah terisi, petugas akan menggunting selang dan membiarkan darah mengalir ke 3 botol kecil. Pemandangan yang cukup seram sebenarnya.
Saat ini proses itu sudah tidak dilakukan karena ada perubahan konfigurasi dari selang yang tersambung ke tubuh kita. Biasanya hanya ada 1 selang menuju kantong darah dan ketika darah penuh, maka selang digunting untuk mengisi botol kecil. Pada selang yang baru terdapat percabangan selang, untuk kantong darah dan untuk kantong darah kecil. Kantong darah kecil itu nantinya akan bisa langsung disambungkan dengan botol kecil, lalu kantong darah diremas sehingga darah mengalir ke botol. Tidak perlu proses gunting menggunting lagi.
Masih ada kendala untuk tampilan video, jadi harus diunduh dulu.
Kejutan berikutnya adalah makanan yang kudapatkan setelah donor. Setelah 2 tahun berubah, akhirnya makanan kembali lagi seperti dulu. Indomie rebus dan telur rebusĀ yang dimasak oleh petugas. Sebuah peningkatan dibandingkan sebelumnya, pop mie. Akhirnya jatah indomieku bertambah.
Donor darah terakhirku di tahun 2018. Sudah 5 kali donor darah di tahun ini, sesuai dengan rencana. Semoga 5 kantong darahku bisa berguna untuk random stranger.
Blister vs Facial
TLDR : Blister lebih sakit daripada facial
BLISTER
Sepanjang menekuni hobi berlari, kukira aku cukup toleran dengan rasa sakit. Aku pernah menyelesaikan event dengan sakit plantar, sakit engkel, sakit lutut, bahkan pernah menempuh 25 km berjalan kaki dengan ITB. Pandangan itu berubah ketika pada Nusantarun Chapter 6 kemarin aku mendapatkan blister.
Aku mendapatkan blister di kedua kaki, di sekitar bola kaki, pada kilometer 50. Kedua blister itu berada pada tumpuan kaki, sehingga setiap langkahku akan membuat blister-blister itu menahan berat tubuhku. Skala sakitnya sebenarnya masih bisa ditoleransi, mungkin skala 3. Cuma rasa sakit itu berulang setiap langkah yang kuambil.
Dari pertama blister itu muncul sampai ke Check Point berikutnya sekitar 12 km. Dua belas kilo penuh penderitaan setiap langkahnya. Setengah jalan, aku sudah berpikir untuk DNF dan meminta dievakuasi, atau bahkan naik kendaraan umum. Dengan determinasi dan semangat ingin menyelesaikan lomba, akhirnya aku berhasil menempuh 12km dalam 3jam.
Penyiksaan panjang akhirnya berhasil ketika aku sampai di CP dan ada medik yang merawat blisterku. Pengalamanku sebelumnya, pelari lain biasanya bisa kembali berjalan atau bahkan berlari ketika blister mereka sudah dirawat. Ekspektasiku cukup tinggi untuk bisa langsung berlari lagi.
Sambil menunggu, aku bertanya kepada salah satu senior lari.
Aku : Kok bisa sih mereka lari padahal blisteran?
Senior : Jangan dirasain, itu cuma mindset.
Aku : Oh, cuma mindset ya.
Blister sudah dirawat oleh dokter, tambahan wejangan dari senior, serta jarak ke CP berikutnya yang “hanya” 11 km membuatku cukup yakin untuk melanjutkan perjalanan. Oooooh maaaaaan, bayangin aja sakit setiap melangkah. Sebelas kilometer itu kisaran 22 ribu langkah. Bayangkan kamu ada 2 luka dan tiap luka diberi tekanan sebanyak 11 ribu kali. Aku masih gak tahu bagaimana orang-orang lain bisa menahan sakit seperti ini. Aku cukup yakin ini bukan mindset. Sakitnya gak seberapa kalau sekali, tapi diulang-ulang-ulang-ulang-ulang sampai membuatku putus asa.
Akhirnya aku memutuskan untuk menyelesaikan event di CP tersebut, bukan di garis finish. Sebuah pengalaman sakit yang tidak ingin aku ulang. Kapok.
FACIAL
Rasa kapok karena sakit pernah kurasakan beberapa tahun sebelumnya. Aku pernah menemani kakakku untuk facial wajah. Dulu jerawatku cukup banyak, jadi ketika facial sakitnya cukup memberikan kesan mendalam. Itu pertama kali dan terakhir aku melakukan facial.
Sampai tiba-tiba kemarin aku penasaran. Mana yang lebih bikin aku kapok ya, blister yang dipaksa jalan atau facial. Aku punya waktu luang dan rasa ingin tahu menguasaiku. Karena terakhir facial sudah lebih dari 5 tahun yang lalu, aku sudah lupa rasanya. Aku memutuskan untuk pergi facial dan membandingkan rasa sakitnya.
Facial yang kemarin entah mengapa tidak sesakit yang dahulu. Mungkin karena perbedaan tempat, perbedaan metode, perbedaan kondisi wajahku (dulu jerawatan parah sekarang normal), atau perbedaan mbak-mbak. Facial yang aku rasakan kemarin juga cuma sakit biasa (skala 3) dan sesekali agak sakit (skala 4). Itu juga cuma sebentar, tidak terlalu lama.
Dengan rasa sakit seperti itu, aku tidak terlalu kapok untuk facial lagi. Jumlah sakitnya juga masih kisaran puluhan, maksimal ratusan. Sakitnya masih bisa ditahan dan ada manfaatnya.
Kesimpulan
Rasa sakit karena blister dan untuk jalan 11 km lebih tidak bisa ditahan daripada rasa sakit karena 1 sesi facial.
NB : Mungkin sakit karena blister itu mindset, mentalku sudah hancur ketika blister muncul di kedua kaki dan itu mungkin membuatku merasa sakitnya lebih daripada yang seharusnya.